Banyak para ilmuwan dari luar Indonesia yang tertarik untuk
melakukan sebuah penelitian di Indonesia. Salah satunya adalah ilmuwan
dari Smithsonian National Museum of Natural History di Washington DC,
Amerika Serikat, bekerja sama dengan Museum Sejarah Nasional di Jakarta.
Penemuan tersebut dilaporkan dalam Zoological Journal of the Linnean
Society.
Penelitian tersebut adalah mengenai fosil bangau dengan tinggi sekitar 180 sentimeter ditemukan di Indonesia.
Fosil itu ditemukan di Flores, kawasan yang sama dengan penemuan fosil
spesies manusia cebol, homo floresiensis yang hidup hingga sekitar 17
ribu tahun lalu.
Seperti diketahui, homo floresiensis merupakan spesies manusia purba
yang sangat dekat dengan manusia modern, namun dengan ukuran yang lebih
kecil.
Ditemukan pertama kali pada 2004, tinggi spesies ini umumnya hanya mencapai 90 sentimeter.
Spesies bangau baru yang ditemukan, diberi nama Leptoptilos robustus
dengan tinggi mencapai 180 sentimeter itu berbobot hingga sekitar 16
kilogram.
Menurut peneliti, ini menjadikan spesies bangau tersebut sebagai
bangau terbesar dan terberat dibandingkan bangau Marabou yang tingginya
bisa mencapai 152 sentimeter dan bobot seberat 9 kilogram.
Dengan tinggi 180 sentimeter, bangau yang tinggal di pulau yang sama
dengan manusia Flores diperkirakan dapat mengganggu kehidupan manusia
tersebut.
Burung tersebut ditemukan oleh ilmuwan dari Smithsonian National
Museum of Natural History di Washington DC, Amerika Serikat, bekerja
sama dengan Museum Sejarah Nasional di Jakarta. Penemuan tersebut
dilaporkan dalam Zoological Journal of the Linnean Society.
Ilmuwan menemukan empat fosil tulang kaki di gua Liang Bua serta
fragmen sayap. Penemuan ini diperkirakan berasal dari 20 ribu hingga 50
ribu tahun lalu.
“Penemuan burung besar memang biasa di pulau itu namun saya tidak
menyangka akan menemukan bangau raksasa,” ujar Dr. Hanneke Meijer,
palaeontologis dari Smithsonian National Museum of Natural History di
Washington.
“Fosil bangau yang ditemukan berusia di antara 20 hingga 50 ribu tahun,” tambah Meijer, seperti diberitakan Daily Mail.
Sekitar 15 ribu tahun lalu, kata Meijer, seperti dikutip dari UPI, 10
Desember 2010, iklim di Flores berubah dari kering menjadi basah.
“Kemungkinan, perubahan iklim ini yang menyebabkan sejumlah spesies di
pulau tersebut menjadi punah,” ucap Meijer.
Flores tidak pernah terhubung dengan pulau utama Asia dan terisolasi
dari pulau lainnya. Akibatnya, isolasi ini memegang peranan penting atas
pembentukan evolusi fauna di kawasan tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar